Minggu, 22 November 2015

Pentingnya Tazkiyatun Nufus



Pentingnya Tazkiyatun Nufus

Pembahasan tentang tazkiyatun nufus merupakan pembahasan yang penting, dimana akan ditanya oleh Allah Ta’ālā pada hari Kiamat nanti

Pembahasan tentang tazkiyatun nufus merupakan pembahasan yang penting, dimana akan ditanya oleh Allah Ta’ālā pada hari Kiamat nanti. Dan Allah Ta’ālā hanya akan menerima manusia yang datang kepadaNya dengan hati yang selamat.
Allah Ta’ālā berfirman,
وَلاَ تُخْزِنِي يَوْمَ يُبْعَثُونَ ، يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ ، إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu`araa’: 87-89)
Dan Allah Ta’ālā akan bertanya kepada hati, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Seperti firman Allah Ta’ālā:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
 “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Israa’: 36)
Setiap anggota badan yang disebutkan dalam ayat di atas akan ditanya pada hari Kiamat. Hatinya akan ditanya tentang apa yang terlintas, apa yang difikirkan, dan apa yang diyakininya. Pendengaran akan ditanya tentang segala hal yang didengarnya. Dan seterusnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ahli tafsir. [1]
Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“…Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya. Dan apabila ia buru, maka buruk pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati.”[2]
Abu Hurairah –radhiyallāhu ‘anhu– mengatakan,
“Hati ibarat raja, sedangkan anggota badan ibarat pasukannya. Apabila baik rajanya, maka baik pula pasukannya, apabila buruk rajanya maka buruk pula pasukannya.”[3]
 Imam Ibnul Qayyim –rahimahullāh– mengatakan,
“…Amalan hati adalah pokok sedangkan amalan badan itu adalah penyerta dan penyempurna. Sesungguhnya niat itu laksana ruh sedangkan amalan itu laksana badan. Apabila ruh meninggalkan badan, maka ia akan mati. Maka, mempelajari hukum-hukum hati lebih penting daripada mempelajari hukum-hukum badan.”[4]
Imam Ibnul Qayyim –rahimahullāh– menjelaskan bahwa amalan hati lebih penting daripada amalan badan namun hal ini tidak berarti bahwa beliau –rahimahullāh– berpendapat bahwa amalan badan tidak temasuk bagian dari iman.
Amalan hati adalah pokoknya amal. Meskipun seseorang beramal dengan amalan yang sangat banyak namun hatinya tidak ikhlas karena Allah Ta’ālā, maka amalannya tidak akan diterima Allah Ta’ālā.
Maka permasalahan tentang hati merupakan perkara yang penting. Tidaklah mungkin Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam terus-menerus mengingatkan ummatnya tentang hati apabila hal tersebut tidak penting. Tidaklah para Shahabat –radhiyallāhu ‘anhum– mewasiatkan agar memperhatikan hati apabila hal ini tidak penting.
Oleh karenanya, pembahasan tentang hal ini harus terus diulang-ulang, dikaji dan disampaikan dalam kajian-kajian dan tulisan dalam rangka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran, sebab terkadang seseorang tidak mengetahui bahwa dirinya terjangkit penyakit hati. Adapun orang-orang yang dapat mengetahui bahwa ia terjangkit penyakit hati adalah para ulama. Merekalah tabib-tabib (dokter-dokter) hati.
Dan penyakit-penyakit hati ini menjangkiti hampir semua orang, baik itu orang awam maupun penuntut ilmu, bahkan juga ustadz, da’i, kiyai, dan lainnya.
Mereka tidak menyadari bahwa di dalam hatinya terjangkiti penyakit hati, baik itu riya’, iri, dengki, ujub, sombong, dan lain sebagainya.
Allah Ta’ālā menjanjikan kepada orang yang mensucikan jiwanya dengan ganjaran, pahala, dan Surga.
Allah Ta’ālā berfirman,
وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَى جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى
“Tetapi barangsiapa datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, dan telah mengerjakan kebajikan, maka mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia), (yaitu) surga-surga ‘Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang menyucikan diri.”(QS. Ṭāhā: 75-76)
Juga firman-Nya,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan diri (dengan beriman), dan mengingat nama Rabb-nya, lalu ia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar